Anak melakukan kenakalan atau kesalahan merupakan suatu hal yang wajar dan orangtua yang menjadi emosi dan marah karena kenakalan atau kesalahan anaknya merupakan hal yang sering terjadi. Jadi, apakah kemarahan orangtua pada anak yang nakal adalah suatu hal yang wajar?

Emosi marah adalah emosi yang normal dialami oleh setiap individu. Begitu juga orangtua yang marah kepada anaknya yang nakal atau melakukan kesalahan. Kemarahan orangtua terhadap anak di rumah merupakan masalah penting untuk dibahas karena dapat berdampak besar pada dinamika keluarga secara keseluruhan. Cara orangtua dalam meluapkan emosi atau kemarahan biasanya berupa penunjukan ekspresi wajah yang marah, memberikan penekanan pada setiap kata-kata yang dilontarkan, menggunakan kata-kata kasar dan makian, dan lain sebagainya.

Dampak pada anak-anak sangatlah memprihatinkan, contohnya ketika anak-anak dimarahi dengan kalimat-kalimat makian, berupa kata ‘bodoh, tidak berguna, anak nakal, ceroboh, dll.’ Kata-kata ini mungkin hanya kata-kata yang keluar karena orangtua merasa kesal dan marah pada anaknya, namun anak-anak tidak akan mengerti itu, dia akan menganggap bahwa seperti itu lah penilaian orangtua terhadap dirinya, dan jika ini terjadi secara terus-menerus maka akan berkemungkinan menjadi sebuah keyakinan terhadap dirinya. Kalimat-kalimat negatif tersebut menjadi sebuah aspirasi.

Aspirasi adalah satu rangkaian komunikasi, dimana komunikasi orang dapat mempengaruhi dan merubah sikap orang lain. Komunikasi memungkinkan pemindahan, penyebaran ide atau penemuan baru kepada orang lain dalam proses pembentukan. Aspirasi adalah harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang. Dalam konteks pengasuhan anak, memberikan aspirasi positif pada anak dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri, motivasi, dan kemandirian anak.

Coba bayangkan ketika anak yang tiding sengaja menumpahkan air, lalu orangtua marah dan mengatakan ‘dasar anak ceroboh, begini saja tumpah’ dan kejadian tersebut terus berulang setiap anak melakukan kesalahan maka kemungkinan besar anak tersebut akan berpikir kalau dirinya tidak bisa melakukan apapun dengan benar karena dirinya memang orang yang ceroboh, dia menjadi tidak percaya diri, merasa dirinya tidak berguna.

Mungkin sebagai orangtua ada yang merasa bahwa merespon kenakalan anak dengan kalimat-kalimat negatif adalah hal yang wajar, atau merasa dengan kalimat negatif tersebut membuat anak mau merubah diri menjadi lebih baik. Tapi, coba pikirkan lagi apa yang akan kita rasakan ketika kita merasa bersalah melakukan kesalahan, lalu mendapat makian dengan kalimat-kalimat negatif? Apakah membuat anda termotivasi untuk tidak melakukan kesalahan lagi? Tentu begitu dan disertai rasa tertekan.

Anak-anak belum mengenal dengan jelas antara benar dan salah, ketika orangtua mengatakan bahwa ‘kamu anak yang bodoh’secara terus menerus, kemungkinan besar anak tersebut akan menilai bahwa itu lah dirinya, sebagaimana yang dinilai oleh orangtuanya, dia menjadi malas belajar karena merasa dirinya bodoh dan usaha belajarnya sia-sia. Dan jika orangtua selalu mengatakan ‘kamu anak yang pintar’ maka anak akan berkemungkinan besar meyakini bahwa begitulah dirinya, sebagaimana yang orangtuanya seringa katakan, bahwa dirinya pintar, dia akan lebih percaya diri terhadap dirinya, akan belajar lebih giat karena dirinya anak yang pintar sehingga usahanya tidak akan sia-sia.

Aspirasi ini sangat berpengaruh pada pemilihan/pengambilan keputusan seorang individu. Ketika individu mendapatkan aspirasi positif mengenai hal yang dia pilih, maka individu tersebut akan lebih percaya diri, namun jika sebaliknya maka individu menjadi seseorang yang tidak percaya diri. Berikut adalah hal-hal yang dapat membantu untuk meningkatkan aspirasi positif pada anak:

  1. Membangun kelekatan dengan anak: Berikan perhatian yang cukup, dampingi saat anak bermain, dan lakukan aktivitas fisik dengan gembira.
  2. Memperlakukan anak dengan hormat: Hargai pilihan anak, apresiasi setiap capaian perkembangan anak, tidak membeda-bedakan anak, dan ajarkan anak tentang toleransi.
  3. Pengasuhan proaktif: Jadilah teladan bagai anak, bangun rasa empati anak terhadap lingkungan dan orang sekitar.
  4. Komunikasi efektif: Jadilah pendengar aktif, pahami ekspresi emosi anak sebagai sesuatu hal yang wajar, gunakan kalimat positif pada saat berkomunikasi, hindari penggunaan bahasa yang rumit, dan temukan dorongan dalam diri anak.
  5. Disiplin positif: Berikan ekspresi yang realistis pada saat anak belajar.